GUNDAH
Aku
masih berdiam diri dalam kamar seluas dua puluh meter persegi. Aku
masih termenung sendiri. Aku memikirkan yang tadi telah lalu. Siang
tadi, diriku diguncang guncangan hebat. Diriku masih layu akibat
guncangan itu. Guncangan yang akan merubah hidupku setengah lingkaran
penuh. Aku diguncang olehnya. Aku masih tak yakin dengan yang kusebut
guncangan. Apakah ia semacam dogma keagamaan aneh atau kepalan tangan
yang mengenai kepalaku atau apapu jua. Aku masih saja tak tahu apakah
guncangan itu.
Aku
masih menganganggapnya begitu. Mungkin sampai ada gelombang baru yang
menghempaskannya. Atau mungkin sampai? Ah, aku tak tahu. Aku melirik
jam kecil di sudut meja, sudah menunjukkan pukul lima. Tanpa
memikirkannya lagi, diriku bangkit untuk memulai apa yang terbaru.
Aku meyakinkan diriku untuk tak terlalu banyak masuk dalam kemelut
sekolah ataupun pribadi. Aku melarang mulutku berbicara banyak omong
kosong.
Aku
tak mau itu terjadi lagi, aku tak mau itu terulang lagi. Batinku
takut menerimannya. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa kusadari.
Semuanya! Ah entahlah.
Dua
minggu telah berlalu sejak kejadian itu, Aku mulai melupakannya atau
mungkin tak mau mengingatnya. Dala diriku masih tersimpan rasa takut
yang begitu mendalam. Semua ini sebenarnya tak ada sangkut pautnya
dengan diriku. Hanya saja hatiku berkata lain. Seseorang seakan
mengtakan dengan lrih. Aku mampu mendengarnya, namun semua tak akan
mampu.
Aku
masih menyimpan sesuatu dari kejadian itu. Barang yang akan membuat
dunia berdecak. Bukan seongok barang atau pecahan kaca, ia adalah yag
paling aneh. Semua yang kudamba runtuh karenanya. Aku tak mau
mengatakan pada siapapun Termasuk pada diriku sendiri.
Sesuatu
yang berbau amis dan lusuh, namun membuat seseorag terbui. Sesuatu
yang mengandung hawa mistis keanehan. Setiap manusia yang
mengetahuinya pasti akan menyingkap tirai dibaliknya. Itulah kunci
segala kunci. Dalam sesuatu yang mengandung sesuatu yang tak dapat
kukatakan. Setiap orang pasti akan terhenyak dari tempatnya di langit
setiap melihat diriku. Apalagi dua orang yang (katanya) melahirkanku.
Aku akan menyimpannya erat, hingga terputus diriku dengan segalanya.
Hari
itu telah berlalu, semua berjalan lancar apa adanya. Tak ada keanehan
yang terjadi. Tak ada suara sirine busuk para penegak hukum. Hanya
kumpulan tugas yang menghajar diriku. Seperti biasanya. Aku masih tak
percaya dengan semua ini. Semuanya berjalan dengan lancar tanpa
hambatan.
“Sudahlah”,
pikirku dalam hati
Aku
tak perlu mencemaskan segalanya, yang terjadi terjadilah, yang tak
terjadi juga lebih baik. Aku kembali pada kehidupanku yang dulu.
Penuh cinta dan kasih sayang ala anak muda. Tak ada pertentangan
orang dewasa, atau tamparan penuh amarah.
***
Yang
kukira tidaklah semulus jalan tol . Tak pernah kuketahui apapun, ia
datang. Dari balik jendela ruang kelas yang terbuka, aku melihatnya
dengan beberapa manusia berseragam. Mereka terlihat bersama kepala
sekolah, entah mereka membicarakan apa. Yang dapat kulihat hanyalah
raut wajah kepala sekolah yang mulai berubah. Mimiknya makin berubah
dan berarti, mengandung seribu makna.
Tak
berselang sejam pengintaianku, namaku menggema di setiap lorong
sekolah. Setiap orang sehat pasti mendengarnya, tak usah kuduga lagi.
Yang kutahu semakin jelas. Dengan menyeret kaki pelan, aku berusaha
untuk menuju kantor pemimpin sekolah. Lorong yang semula ramai oleh
suara teriakan manusia – manusia yang berkelakuan monyet, mendadak
senyap (menuruku!). Pikiranku yang mulai melayang pergi segera
kutarik kembali, ia tak boleh dibiarkan pergi. Ia memang macam seekor
anjing pelacak yang ganas.
Tanpa
kusadari aku telah menghadap ke arah pintu menakutkan itu. Aku
mencari ketegaran, kubaca semua mantra dan jimat keagamaan. Semua
kulalap habis tak tersisa satupun. Gemetar aku dibuatnya, kakiku lesu
semakin menjadi – jadi. Panggilan itu terdengar sekali lagi,
suaranya memantul dan menggema terkena dinding – dinding lorong.
Saat
kumasuki, aku melihat beberapa orang bersama kepala sekolah. Mereka
seperti heran melihatku, sorot matanya yang tajam penuh selidik,
segera menusuk diriku. Foto presiden dan wakilnya serasa tersenyum
penuh kemunafikan, ia seperti orang yang penuh kesinisan. Kertas –
kertas yang berada di atas meja sang kepala seolah menyuruhku untuk
membantingnya. Apalagi beberapa helai kertas yang berada di genggaman
manusia yang berpakaian penegak hukum menuntutku untuk menyobek dan
membakarnya.
Aku
mencoba menggiring khayalanku ke kepalaku kembali. Ia telah terlepas
begitu lama, hingga menimbulkan kekacauan dalam diriku. Aku tak dapat
mendengar dengan jelas apa yang diucapkan beberapa orang itu
kepadaku. Mereka dengan semena – mena menggiringku keluar dan
memasukkanku dalam sebuah mobil besi.
Hatiku sedikit berteriak kesenangan.
Hatiku sedikit berteriak kesenangan.
“Inilah
mobil yang ada dalam tv –tv, tidak semua orang dapat menaikinya”
Mobil
ini berukuran lumayan besar dan cukup untuk sepuluh orang dewasa.
Mobil ini tak punya jendela. Pintunya cukup besar untuk orang
seukuranku, semuanya terbuat dari besi atau mungkin baja anti karat.
Pintunya dikunci dan digembok, yang menurutku tak mungkin dibuka
kecuali oleh manusia super. Dalam mobil terdapat teralis – teralis
besi seukuran ibu jari.
Baunya
pun lumayan busuk. Besinya berbau karat, dan terlihat berwarna coklat
dengan sedikit keropos di sana – sini. Bau lainnya juga sangat
menyengat, Pengap, keringat dan kentut bercampur baur jadi satu
denganku, maklum tidak ada jendela kecil sedikitpun untuk aliran
udara.
Tak
berapa lama mobil ini terasa berhenti. Dua orang mencoba membuka
pintu jelek itu. Terlihat dua orang kekar menjemputku di luar mobil.
Mereka mengeluarkanku dengan kasar. Tangannya yangbesar mencekik
pergelangan tanganku.
Mereka
seolah menyeretku ke sebuah tempat yang tak kuketahui. Aku melihat
sebuah bangku dan dua buah kursi. Mereka tertata rapi dan saling
berhadapan. Penerangan yang remang – remang benar – benar
membuatku takut. Tak ada jendela sama sekali, hanya ada sebiah pintu
besi. Entah berapa ton berat pintu, kulihat orang – orang kuat tadi
sampai mengeluarkan keringat bau mereka saat membuka pintu besi itu.
Tak
berapa lama dua orang berotot itu pergi. Aku di dalam sendiriang. Tak
ada yang menemani kecuali tikus – tikus menyuarakan puisi kesedihan
untukku. Aku mengitari ruangan itu sambil menyenandungkan lagu –
lagu rohani, untuk mengusir rasa takutku. Tembok yang tak putih lagi
dan berair memberi kesan tak terurus pada ruangan ini. Sungguh tak
tahan rasanya jika terkurung di sini.
Panas
dan bau menyelimuti ruangan ini. Kutengadahkan kepalaku untuk
memeriksa bagian atas ruangan. Di atas pun tak terlihat adanya jaring
– jaring laba – laba. Mungkin para hewan itu tak tahan dengan
temat seprti ini. Bagian atas ruangan ini terlihat jelas jamur –
jamur daun menempel. Mereka membentuk suatu lingkaran atau apa saja.
Mereka terlihat bergerombol dan sedang membicarakan sesuatu.
Mereka
merupakan saksi bisu atas seua yang terjadi. Mereka pasti sedang
melirikku sinis dan memperbincangkanku. Mata mereka yang kecil dapat
dengan mudah kutemukan. Bola matanya yang hitam memantulkan gambaran
diriku. Beberapa jamur terlihat berwarna coklat, secoklat warna
bangku di tengah ruangan.
Diriku
mengalihkan pandanganku menuju pintu basi tua. Sudah sejam kiranya
aku berada di sini. Aku tak mendengar seseorang berjalan atau apapun
kecuali diriku sendiri. Aku mulai merasakan gerah yang membuat
keringat ku menetes. Seperti seekor cacing yang sedang berendam pada
air yang mampu membuat kulit terkelupas. Diriku mengibas –
ngibaskan telapak tanganku yang kecil. Kuraih kancing bajuku satu
perstu. Kulepas baju yang menempel pada tubuhku.
Kulihat
kucuran keringat menetes di dada dan perutku. Tak berselng semenit
kegerahan juga menyerang kaki dan pahaku. Bagian yang semula kututupi
dan kujaga terpaksa kuumbar dan kubuka. Aku melepas juga celana biru
khas SMP. Hanya sebuah pakaian yang masih melekat rapi. Kulihat ia
juga telah basah oleh keringat.
Aku
memutar kepalaku dan mencari kamera pengintai yang mungkin mengintai.
Tak kujumpai satupun kamera pengintai yang terlihat. Semua sama
seperti tadi, sepi tak ada pengintai. Hanya diriku seorang diri yang
terjebak di tempat seperti ini. Sbuah neraka dunia.
Aku
mulai melepaskan pakaian terkahir yang melekat di tubuhku. Tak ada
satu kainpun yang melekat di tubuhku. Aku memerhatiakn skujur tubuhku
telah terkena basuhan air keringat yang berasa asin. Entah di mana
dan dari mana suara itu datang. Tanganku seolah tak punya daya untuk
melawannya. Aku mulai mempermainkan kemaluanku sendiri.
***
***