Kamis, 07 November 2013

Cerpen 1

Pikiran Malam
Di hari itu, diriku ada. Sama seperti yang lalu, sama persis. Sama gelap tanpa cahaya berbintang dan selalu kelabu. Entahlah, aku tak tahu kelabu ataukah cerah. Aku hanya ditemani beberapa bohlam 20 volt. Dalam suasana begitu indah, aku mencoba menghiasinya.
Diriku bersenandung sendiri mencoba hibur diri sendiri yang telah rapuh. Mealihat sekeliling menangkap cahaya – cahaya inspirasi. Meroda agar ia masuk dalam diri dan keluar dalam keabadian karya. Beranginkah? Tak tahu sama sekali diriku. Aku terkubur dalam diri sendiri, meratapi kesedihan yang mungkin telah lalu, ataukah memang di depan mata?
Mulai kutangkap cahaya remang – remang yang keluar dari tubuh sang kunang – kunang. Cahayanya yang menyilaukan membuat para betina berkeok kesenangan. Pancarannya sungguh menawan, kuku manusia – manusia mati.
Kupandangi dirinya yang sedang bercumbu mencari calon istrinya. Diam di tempat tak bergerak biarpun sedikit. Hanya kepakan sayapnya yang terdengar memecah malam gelap di hari ini. Diriku terpana dan terhunus pedang panjang yang membelah diri jadi seribu. Semua kupancarkan padanya, di saat ini.
Lagu senandungku yang sedari tadi berputar dalam tenggorokanku kini semakin pudar. Ia telah hilang entah kemana. Aku tak pernah merindukannya sekarang ini. Pandanganku hanya tertuju pada yang berkilau indah.
Beberapa serangga nakal mencoba mengangguku saat sedang berpacaran dengannya. Serangga bersayap penghisap darah menerkamku di mana – mana. Yang berkilau itu pergi, sekarang ia menjauh dariku tanpa berpamitan. Ia memutus hubungan dengan diriku, entah sampai kapan. Suara hatiku seakan tidak rela untuk melepaskannya mencari pasangan baru.
Aku kini sendiri lagi. Serangga nakal itu masih terus membuntutiku. Ia selalu tahu kemana diriku. Aku menggeser pantat ke kiri ia tahu, aku menggeser ke kanan ia malah sangat tahu. Ia sungguh pintar ia mengendus mangsa, melebihi detektif sehebat apapun. Ia pantang menyerah menggigitku.
Insting kebinatangannya yang mungkin menuntunnya kepadaku. Aku hanya melindungi diri dengan sarung lusuh pemberian kakek setahun yang lalu. Aku mengibas – ngibaskan tangan mungilku kepadanya. Tetap saja ia terus bergeming membuntutiku. Aku tak cukup kuat untuk menahannya, aku kalah. Ia berhasil menerobos dinding pertahananku saat aku lengah.
Sudah dapat ditebak apa yang terjadi pada diriku. Bukit mini muncul di kulitku. Sungguh sangat tersiksa, sangat gatal. Aku yang semula manusia berubah sudah jadi monyet bersarung. Tanganku mecakar diriku dengan ganasnya, kuku – kukuku yang panjang menambah perih cakaranku. Air merah meleleh sudah.

Sedikit tapi pasti, ia mengalir. Setiap tetes yang mengalir bagai nyawa yang teregang. Tak pernah aku merasakan seintim ini saat pengeluarannya. Bercucuran membasahi kulit sawo matang yang meyelubungi tubuh. Mengenai pori – pori dan rambut halus di kulitku. Ia berhenti, benar – benar berhenti.
Keping darah yang bekerja cepat membuat pendarahan ini cepat berhenti. Benang – benang fibrin mulai dipintal oleh para prajurit dalam tubuh. Sedikit sedikit ia menutupi. Semenit sudah kuperhatikan diri yang sedang memintal untuk aku ini. Semua seakan mukjizat. Besar sungguh Sang Maha Kasih, pada-Mu segala berserah.
Sisa – sisa cairan merah kental itu masih menempel di epidermis kulitku. Ia mendadak tak bergerak, ia beku. Setetes itu masih terus menempel, Ia tak mau pergi kecuali dengan paksaan. Aku memaju mundurkan telapak tanganku sambil menempelkannya pada cairan kental beku itu. Bekuan cairan itu mulai berkurang dan mengelupas, hingga hilang.
Aku menengok bayang dari bambu yang sedang kududuki. Tepat 10 cm ia ada di sana. Sebuah layah coklat yang baru saja kubeli. Di samping kanannya terdapat seperangkat alat pewarna. Ada beberapa buah cat air, kuas, dan palet. Semua tertata rapi. Otak kananku mulai menerawang angkasa angan – angan. Daya imajinasiku mulai menjalar dan meraba semua yang pernah kulihat dan kurasakan. Aura kesenianku muncul dan menyebar ke segala arah, persis seperti cahaya lampu 12 volt yang menggantung beberapa sentimeter di atas kepalaku.
Angin menyeruak dari jalan raya di depan gang rumahku. Suara deretan motor berdengung – dengung bak lebah yang bernyanyi. Polusi suara mulai merambat menuju kepadaku. Kebisingan yang sedari tadi tak kurasakan, kini kembali. Knalpot – knalpot kendaraan yang melubangi atmosfer dengan semburan berbagai produk sampingannya tak pernah diam.
Semua pikiran bebas kini terkungkung dalam penjara lagi. Petugas – petugas keamanan yang bodoh dan tak mau tahu memaksannya masuk. Seribu pengacara tak berhasil membebaskannya. Ia masih terkurung dalam kesempitan pikiran – pikiran logis. Nasibnya makin terpuruk dan hina. Ia dijepit dua saudara kembar yang berlemak tinggi, logis dan pengecut.
Angka – angka dan seibu diagram telah menghancurkannya. Ia telah disamarkan sang nalar. Ia menjadi kongruen dengan terpidana mati, ah ia muncul lagi. Ia tak pernah keluar lagi (mungkin). Ia telah diikat hingga menekan tenggorokannya, yang menyebabkan asmanya kambuh.
Pohon menari – nari ikuti irama Tuhan. Lambaian dahan juga daunnya ikut menyoraki irama Yang Mulia. Debu pasir kecil melayang di atas gerabahku. Ia tertiup udara yang bergerak menuju arah diriku. Udara – udara itu terus bergerak menimbulkan hawa menekan yang tajam. Kain penutup tubuh yang kebesaran juga ikut melambaikan tangan. Ia seolah tak mau ketinggalan rasakan pesta Tuhan di sana.

Rambut – rambut kulitku berdiri, tertarik otot penarik. Tegak menjulang menutupi diriku. Setan? Hantu? Bukan, bukan itu. Dingin? Ya itulah jawabnya. Tangan kananku mulai menggosok telapaknya ke telapak tangan kiriku. Energi itu kembali. Bebarengan dengn penggosokan telapak yang sudah semenit kulakukan. Kehangatan menyeruak dari padannnya.
Kutempelkan telapak kananku pada dahi. Kurasakan nikmat Sang Penguasa menguasai hatiku. Pelukan-Nya dalam kedinginan telah menghangatkanku. Aku terlena kenangan indah dengan Sang Pencipta. Udara itu kini tak kurasakan sebagai musuh. Suara – suara bodoh itu kembali menipis dan hilang. Semua kembali lagi.
Mataku tertuju pada benda – benda di depanku. Yang terkungkung sedang menari salsa dalam naungan pikiran. Ia berjingkrak ikuti irama yang entah dari mana datangnya. Yang terkurung terbebas. Ia jadi pemandu tur alam pikiran, pekerjaan barunya. Kulihat tubuhnya kurus tan berlemak. Hanya tertutup kulit setebal beberapa milimeter. Hanya tulang putihnya yang menopangnya. Ia bukan seperti yang kukenal.
Ia diracun? Mungkin saja. Lihatlah! Tubuhnya memalukan. Ia tak lagi perkasa, ia tak kuat lagi hancurkan konsep – konsep abstrak. Ia sudah terkungkung dalam dirinya sendiri. Ia yang murni takut tampakkan batang hidungnya. Entahlah, aku pun tak yakin dengan apa yang kukatakan.
Aku hanya memikirkannya, sungguh aku sendiri tak yakin pernah berjabat tangan dengannya. Ia murni sebuah kemurnian imajinasi yang duduk dengan bumbu – bumbu penyedap. Aku juga tak paham yang kuakatakan. Aku menjadi bodoh atas diriku sendiri.
Aku mulai mencarinya, ah dia ada di sana. Aku menyuruhnya berpencar mencari sisa – sisa seniman dunia yang dapat kupungut. Hasilnya akan kujual untuk mendapat sebuah coretan di kertas berbentuk angka. Aku telah lelah mencari dan berpikir. Aku tak sanggup lagi tanamkan sebuah coretan asli dariku untuk memenuhi wadah penghalus bumbu dapur itu.
Aku hanya menjadi pemungut dan pemulung. Aku mengemis pada para seniman. Tubuhku gemetar untuk menadahkan tangan meminta secuil karya indahnya. Aku selalu berdiri di depan pintu pameran ilegal yang diselenggarakannya. Aku memasang wajah melas di depan semua yang ada. Mengharap sudikah dari mereka kirimkan anggur keindahan padaku.
Mereka lihat diriku dengan mata picisan, mereka pendang diriku tak ubahnya sebagai seorang pengemis kelas teri. Bermodal tangan kehampaan mencoba mengeruk kekayaan tanpa batas miliknya. Mungkinkah tanpa batas? Keterbatasan, ya itulah penghalang utama. Diriku terbatas pada apa yang ada menghirup oksigen dari sebuah rumus kimiawi segelas air. Tak pernah mengeruk ke dalam celah bebatuan.
Terjal mematikan dan menakutkan. Keindahan terdalam di dalam celah tersempit. Penggalian para seniman munculkan zam – zam pada padang tandus gersang. Tak ubahnya Ismail kecil. Tendang tanah keluar mani, oh air itu. Tak ubahnya air kehidupan dalam rahim Ibu Hajar. Hidupi para musafir lewat, makin ramai saja tanah Ismail. Ismail telah membatu dan membiru dalam gundukan tanah gersang, kota itu muncul.
Kapan air itu sembur diriku. Muncratkan jutaan calon seniman. Keluarkan ribuan karya indah. Kapankah ia datang. Belum juga mampir, lihat saja tak dapat nampak batang hidungnya. Mungkin belum waktunya datang padaku.
Kulirik benda – benda di di depanku. Ia tidak bergerak walau semilimeter pun. Cat – cat belum juga terbuka tutupnya. Entahlah tak ada yang muncul di balik otak besarku. Semua seakan kosong dan hilang. Sama sekali tak perah muncul. Siapa yang membujukku untuk membukanya, aku pun tak pernah tahu. Setan? Bukan, ia tak mungkin membuang waktunya untuk menggoda diriku. Mengapa ia tidak menggoda seorang yang menghadap Tuhan malah menggoda seorang yang menghadap cat – cat dan kuas, tak mungkin setan menggangguku.
Kuperhatikan saja cat – cat itu, tak kuturiti apa kata otakku. Cat serta beberapa peralatan itu masih tergeletak tak berdaya. Mereka masih lunglai akibat terlalu capek. Tubuh mereka seolah enggan untuk bekerja. Desir angin yang semilir turut mempengaruhi keadaan hati mereka. Lihatlah! Kepala tuan kuas. Ia terlihat lunlai dan capek, entah apa yang membuatnya capek. Seingatku dia baru datang dari toko menuju rumahku kemarin sore dan ia sama sekali belum kupegang. Diriku masih terpaku sendiri menatap beberapa cat aneka warna yang masih lengkap dengan tutupnya itu.
Diriku memaksa kedua tanganku untuk membukanya, kumulai ia dari warna yang ada di sebelah kanan, warna merah. Kuputar tutpnya ke arah kanan dan kutarik untuk membukannya. Sekarang ia telah terbuka, mulutnya menganga seolah ingin makan manusia di depannya. Kubuka cat – cat berikutnya, dengan cara yang hampir sama. Terbukalah semuannya tanpa menyisakan satu cat pun yang tertutup. Tangan kananku kuarahkan ke arah kiri dan mengambil kuas berwarna kuning. Kucelupkan kuas dalam sebuah cat, kubiarkan sebentar agar ia merasakan kenikmatan berendam dalam sebuah cairan. Tak usah berlama – lama, aku takut dririnya menjadi kedinginan. Kuangkat kuas dan kuletakkan kepalannya pada layah yang sedari tadi telah menunggu untuk disentuh dan dikasihi. Kugoreskan kuas yang sedari tadi badannya telah kupegang. Entah aku melukiskan apa, diriku masih menggoyang kuas ke kiri dan ke kanan, hingga fajar menampakkan badannya yang anggun.
***

Silahkan dicoment
Tlg hargai karya org lain, jika mau mengcopy jgn lupa sertaka asalnya/sumbernya
Ini adalah karya asli saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar