Pikiran Malam
Di hari itu, diriku ada. Sama seperti
yang lalu, sama persis. Sama gelap tanpa cahaya berbintang dan selalu
kelabu. Entahlah, aku tak tahu kelabu ataukah cerah. Aku hanya
ditemani beberapa bohlam 20 volt. Dalam suasana begitu indah, aku
mencoba menghiasinya.
Diriku bersenandung sendiri mencoba
hibur diri sendiri yang telah rapuh. Mealihat sekeliling menangkap
cahaya – cahaya inspirasi. Meroda agar ia masuk dalam diri dan
keluar dalam keabadian karya. Beranginkah? Tak tahu sama sekali
diriku. Aku terkubur dalam diri sendiri, meratapi kesedihan yang
mungkin telah lalu, ataukah memang di depan mata?
Mulai kutangkap cahaya remang –
remang yang keluar dari tubuh sang kunang – kunang. Cahayanya yang
menyilaukan membuat para betina berkeok kesenangan. Pancarannya
sungguh menawan, kuku manusia – manusia mati.
Kupandangi dirinya yang sedang
bercumbu mencari calon istrinya. Diam di tempat tak bergerak biarpun
sedikit. Hanya kepakan sayapnya yang terdengar memecah malam gelap di
hari ini. Diriku terpana dan terhunus pedang panjang yang membelah
diri jadi seribu. Semua kupancarkan padanya, di saat ini.
Lagu senandungku yang sedari tadi
berputar dalam tenggorokanku kini semakin pudar. Ia telah hilang
entah kemana. Aku tak pernah merindukannya sekarang ini. Pandanganku
hanya tertuju pada yang berkilau indah.
Beberapa serangga nakal mencoba
mengangguku saat sedang berpacaran dengannya. Serangga bersayap
penghisap darah menerkamku di mana – mana. Yang berkilau itu pergi,
sekarang ia menjauh dariku tanpa berpamitan. Ia memutus hubungan
dengan diriku, entah sampai kapan. Suara hatiku seakan tidak rela
untuk melepaskannya mencari pasangan baru.
Aku kini sendiri lagi. Serangga nakal
itu masih terus membuntutiku. Ia selalu tahu kemana diriku. Aku
menggeser pantat ke kiri ia tahu, aku menggeser ke kanan ia malah
sangat tahu. Ia sungguh pintar ia mengendus mangsa, melebihi detektif
sehebat apapun. Ia pantang menyerah menggigitku.
Insting kebinatangannya yang mungkin
menuntunnya kepadaku. Aku hanya melindungi diri dengan sarung lusuh
pemberian kakek setahun yang lalu. Aku mengibas – ngibaskan tangan
mungilku kepadanya. Tetap saja ia terus bergeming membuntutiku. Aku
tak cukup kuat untuk menahannya, aku kalah. Ia berhasil menerobos
dinding pertahananku saat aku lengah.
Sudah dapat ditebak apa yang terjadi
pada diriku. Bukit mini muncul di kulitku. Sungguh sangat tersiksa,
sangat gatal. Aku yang semula manusia berubah sudah jadi monyet
bersarung. Tanganku mecakar diriku dengan ganasnya, kuku – kukuku
yang panjang menambah perih cakaranku. Air merah meleleh sudah.
Sedikit tapi pasti, ia mengalir.
Setiap tetes yang mengalir bagai nyawa yang teregang. Tak pernah aku
merasakan seintim ini saat pengeluarannya. Bercucuran membasahi kulit
sawo matang yang meyelubungi tubuh. Mengenai pori – pori dan rambut
halus di kulitku. Ia berhenti, benar – benar berhenti.
Keping darah yang bekerja cepat
membuat pendarahan ini cepat berhenti. Benang – benang fibrin mulai
dipintal oleh para prajurit dalam tubuh. Sedikit sedikit ia menutupi.
Semenit sudah kuperhatikan diri yang sedang memintal untuk aku ini.
Semua seakan mukjizat. Besar sungguh Sang Maha Kasih, pada-Mu segala
berserah.
Sisa – sisa cairan merah kental itu
masih menempel di epidermis kulitku. Ia mendadak tak bergerak, ia
beku. Setetes itu masih terus menempel, Ia tak mau pergi kecuali
dengan paksaan. Aku memaju mundurkan telapak tanganku sambil
menempelkannya pada cairan kental beku itu. Bekuan cairan itu mulai
berkurang dan mengelupas, hingga hilang.
Aku menengok bayang
dari bambu yang sedang kududuki. Tepat 10 cm ia ada di sana. Sebuah
layah
coklat yang baru saja kubeli. Di samping kanannya terdapat
seperangkat alat pewarna. Ada beberapa buah cat air, kuas, dan
palet. Semua tertata rapi. Otak kananku mulai menerawang angkasa
angan – angan. Daya imajinasiku mulai menjalar dan meraba semua
yang pernah kulihat dan kurasakan. Aura kesenianku muncul dan
menyebar ke segala arah, persis seperti cahaya lampu 12 volt yang
menggantung beberapa sentimeter di atas kepalaku.
Angin menyeruak dari jalan raya di
depan gang rumahku. Suara deretan motor berdengung – dengung bak
lebah yang bernyanyi. Polusi suara mulai merambat menuju kepadaku.
Kebisingan yang sedari tadi tak kurasakan, kini kembali. Knalpot –
knalpot kendaraan yang melubangi atmosfer dengan semburan berbagai
produk sampingannya tak pernah diam.
Semua pikiran bebas kini terkungkung
dalam penjara lagi. Petugas – petugas keamanan yang bodoh dan tak
mau tahu memaksannya masuk. Seribu pengacara tak berhasil
membebaskannya. Ia masih terkurung dalam kesempitan pikiran –
pikiran logis. Nasibnya makin terpuruk dan hina. Ia dijepit dua
saudara kembar yang berlemak tinggi, logis dan pengecut.
Angka – angka dan seibu diagram
telah menghancurkannya. Ia telah disamarkan sang nalar. Ia menjadi
kongruen dengan terpidana mati, ah ia muncul lagi. Ia tak pernah
keluar lagi (mungkin). Ia telah diikat hingga menekan tenggorokannya,
yang menyebabkan asmanya kambuh.
Pohon menari – nari ikuti irama
Tuhan. Lambaian dahan juga daunnya ikut menyoraki irama Yang Mulia.
Debu pasir kecil melayang di atas gerabahku. Ia tertiup udara yang
bergerak menuju arah diriku. Udara – udara itu terus bergerak
menimbulkan hawa menekan yang tajam. Kain penutup tubuh yang
kebesaran juga ikut melambaikan tangan. Ia seolah tak mau ketinggalan
rasakan pesta Tuhan di sana.
Rambut – rambut kulitku berdiri,
tertarik otot penarik. Tegak menjulang menutupi diriku. Setan? Hantu?
Bukan, bukan itu. Dingin? Ya itulah jawabnya. Tangan kananku mulai
menggosok telapaknya ke telapak tangan kiriku. Energi itu kembali.
Bebarengan dengn penggosokan telapak yang sudah semenit kulakukan.
Kehangatan menyeruak dari padannnya.
Kutempelkan telapak kananku pada
dahi. Kurasakan nikmat Sang Penguasa menguasai hatiku. Pelukan-Nya
dalam kedinginan telah menghangatkanku. Aku terlena kenangan indah
dengan Sang Pencipta. Udara itu kini tak kurasakan sebagai musuh.
Suara – suara bodoh itu kembali menipis dan hilang. Semua kembali
lagi.
Mataku tertuju pada benda – benda
di depanku. Yang terkungkung sedang menari salsa dalam naungan
pikiran. Ia berjingkrak ikuti irama yang entah dari mana datangnya.
Yang terkurung terbebas. Ia jadi pemandu tur alam pikiran, pekerjaan
barunya. Kulihat tubuhnya kurus tan berlemak. Hanya tertutup kulit
setebal beberapa milimeter. Hanya tulang putihnya yang menopangnya.
Ia bukan seperti yang kukenal.
Ia diracun? Mungkin saja. Lihatlah!
Tubuhnya memalukan. Ia tak lagi perkasa, ia tak kuat lagi hancurkan
konsep – konsep abstrak. Ia sudah terkungkung dalam dirinya
sendiri. Ia yang murni takut tampakkan batang hidungnya. Entahlah,
aku pun tak yakin dengan apa yang kukatakan.
Aku hanya memikirkannya, sungguh aku
sendiri tak yakin pernah berjabat tangan dengannya. Ia murni sebuah
kemurnian imajinasi yang duduk dengan bumbu – bumbu penyedap. Aku
juga tak paham yang kuakatakan. Aku menjadi bodoh atas diriku
sendiri.
Aku mulai mencarinya, ah dia ada di
sana. Aku menyuruhnya berpencar mencari sisa – sisa seniman dunia
yang dapat kupungut. Hasilnya akan kujual untuk mendapat sebuah
coretan di kertas berbentuk angka. Aku telah lelah mencari dan
berpikir. Aku tak sanggup lagi tanamkan sebuah coretan asli dariku
untuk memenuhi wadah penghalus bumbu dapur itu.
Aku hanya menjadi pemungut dan
pemulung. Aku mengemis pada para seniman. Tubuhku gemetar untuk
menadahkan tangan meminta secuil karya indahnya. Aku selalu berdiri
di depan pintu pameran ilegal yang diselenggarakannya. Aku memasang
wajah melas
di depan semua yang ada. Mengharap sudikah dari mereka kirimkan
anggur keindahan padaku.
Mereka lihat diriku dengan mata
picisan, mereka pendang diriku tak ubahnya sebagai seorang pengemis
kelas teri. Bermodal tangan kehampaan mencoba mengeruk kekayaan tanpa
batas miliknya. Mungkinkah tanpa batas? Keterbatasan, ya itulah
penghalang utama. Diriku terbatas pada apa yang ada menghirup oksigen
dari sebuah rumus kimiawi segelas air. Tak pernah mengeruk ke dalam
celah bebatuan.
Terjal mematikan dan menakutkan.
Keindahan terdalam di dalam celah tersempit. Penggalian para seniman
munculkan zam – zam pada padang tandus gersang. Tak ubahnya Ismail
kecil. Tendang tanah keluar mani, oh air itu. Tak ubahnya air
kehidupan dalam rahim Ibu Hajar. Hidupi para musafir lewat, makin
ramai saja tanah Ismail. Ismail telah membatu dan membiru dalam
gundukan tanah gersang, kota itu muncul.
Kapan air itu sembur diriku.
Muncratkan jutaan calon seniman. Keluarkan ribuan karya indah.
Kapankah ia datang. Belum juga mampir, lihat saja tak dapat nampak
batang hidungnya. Mungkin belum waktunya datang padaku.
Kulirik benda – benda di di
depanku. Ia tidak bergerak walau semilimeter pun. Cat – cat belum
juga terbuka tutupnya. Entahlah tak ada yang muncul di balik otak
besarku. Semua seakan kosong dan hilang. Sama sekali tak perah
muncul. Siapa yang membujukku untuk membukanya, aku pun tak pernah
tahu. Setan? Bukan, ia tak mungkin membuang waktunya untuk menggoda
diriku. Mengapa ia tidak menggoda seorang yang menghadap Tuhan malah
menggoda seorang yang menghadap cat – cat dan kuas, tak mungkin
setan menggangguku.
Kuperhatikan saja cat – cat itu,
tak kuturiti apa kata otakku. Cat serta beberapa peralatan itu masih
tergeletak tak berdaya. Mereka masih lunglai akibat terlalu capek.
Tubuh mereka seolah enggan untuk bekerja. Desir angin yang semilir
turut mempengaruhi keadaan hati mereka. Lihatlah! Kepala tuan kuas.
Ia terlihat lunlai dan capek, entah apa yang membuatnya capek.
Seingatku dia baru datang dari toko menuju rumahku kemarin sore dan
ia sama sekali belum kupegang. Diriku masih terpaku sendiri menatap
beberapa cat aneka warna yang masih lengkap dengan tutupnya itu.
Diriku memaksa kedua tanganku untuk
membukanya, kumulai ia dari warna yang ada di sebelah kanan, warna
merah. Kuputar tutpnya ke arah kanan dan kutarik untuk membukannya.
Sekarang ia telah terbuka, mulutnya menganga seolah ingin makan
manusia di depannya. Kubuka cat – cat berikutnya, dengan cara yang
hampir sama. Terbukalah semuannya tanpa menyisakan satu cat pun yang
tertutup. Tangan kananku kuarahkan ke arah kiri dan mengambil kuas
berwarna kuning. Kucelupkan kuas dalam sebuah cat, kubiarkan sebentar
agar ia merasakan kenikmatan berendam dalam sebuah cairan. Tak usah
berlama – lama, aku takut dririnya menjadi kedinginan. Kuangkat
kuas dan kuletakkan kepalannya pada layah
yang sedari tadi telah menunggu untuk disentuh dan dikasihi.
Kugoreskan kuas yang sedari tadi badannya telah kupegang. Entah aku
melukiskan apa, diriku masih menggoyang kuas ke kiri dan ke kanan,
hingga fajar menampakkan badannya yang anggun.
***
Silahkan dicoment
Tlg hargai karya org lain, jika mau mengcopy jgn lupa sertaka asalnya/sumbernya
Ini adalah karya asli saya
Tlg hargai karya org lain, jika mau mengcopy jgn lupa sertaka asalnya/sumbernya
Ini adalah karya asli saya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar