Kamis, 28 November 2013

Cerpen 2

GUNDAH
Aku masih berdiam diri dalam kamar seluas dua puluh meter persegi. Aku masih termenung sendiri. Aku memikirkan yang tadi telah lalu. Siang tadi, diriku diguncang guncangan hebat. Diriku masih layu akibat guncangan itu. Guncangan yang akan merubah hidupku setengah lingkaran penuh. Aku diguncang olehnya. Aku masih tak yakin dengan yang kusebut guncangan. Apakah ia semacam dogma keagamaan aneh atau kepalan tangan yang mengenai kepalaku atau apapu jua. Aku masih saja tak tahu apakah guncangan itu.
Aku masih menganganggapnya begitu. Mungkin sampai ada gelombang baru yang menghempaskannya. Atau mungkin sampai? Ah, aku tak tahu. Aku melirik jam kecil di sudut meja, sudah menunjukkan pukul lima. Tanpa memikirkannya lagi, diriku bangkit untuk memulai apa yang terbaru. Aku meyakinkan diriku untuk tak terlalu banyak masuk dalam kemelut sekolah ataupun pribadi. Aku melarang mulutku berbicara banyak omong kosong.
Aku tak mau itu terjadi lagi, aku tak mau itu terulang lagi. Batinku takut menerimannya. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa kusadari. Semuanya! Ah entahlah.
Dua minggu telah berlalu sejak kejadian itu, Aku mulai melupakannya atau mungkin tak mau mengingatnya. Dala diriku masih tersimpan rasa takut yang begitu mendalam. Semua ini sebenarnya tak ada sangkut pautnya dengan diriku. Hanya saja hatiku berkata lain. Seseorang seakan mengtakan dengan lrih. Aku mampu mendengarnya, namun semua tak akan mampu.
Aku masih menyimpan sesuatu dari kejadian itu. Barang yang akan membuat dunia berdecak. Bukan seongok barang atau pecahan kaca, ia adalah yag paling aneh. Semua yang kudamba runtuh karenanya. Aku tak mau mengatakan pada siapapun Termasuk pada diriku sendiri.
Sesuatu yang berbau amis dan lusuh, namun membuat seseorag terbui. Sesuatu yang mengandung hawa mistis keanehan. Setiap manusia yang mengetahuinya pasti akan menyingkap tirai dibaliknya. Itulah kunci segala kunci. Dalam sesuatu yang mengandung sesuatu yang tak dapat kukatakan. Setiap orang pasti akan terhenyak dari tempatnya di langit setiap melihat diriku. Apalagi dua orang yang (katanya) melahirkanku. Aku akan menyimpannya erat, hingga terputus diriku dengan segalanya.
Hari itu telah berlalu, semua berjalan lancar apa adanya. Tak ada keanehan yang terjadi. Tak ada suara sirine busuk para penegak hukum. Hanya kumpulan tugas yang menghajar diriku. Seperti biasanya. Aku masih tak percaya dengan semua ini. Semuanya berjalan dengan lancar tanpa hambatan.
Sudahlah”, pikirku dalam hati
Aku tak perlu mencemaskan segalanya, yang terjadi terjadilah, yang tak terjadi juga lebih baik. Aku kembali pada kehidupanku yang dulu. Penuh cinta dan kasih sayang ala anak muda. Tak ada pertentangan orang dewasa, atau tamparan penuh amarah.
***
Yang kukira tidaklah semulus jalan tol . Tak pernah kuketahui apapun, ia datang. Dari balik jendela ruang kelas yang terbuka, aku melihatnya dengan beberapa manusia berseragam. Mereka terlihat bersama kepala sekolah, entah mereka membicarakan apa. Yang dapat kulihat hanyalah raut wajah kepala sekolah yang mulai berubah. Mimiknya makin berubah dan berarti, mengandung seribu makna.
Tak berselang sejam pengintaianku, namaku menggema di setiap lorong sekolah. Setiap orang sehat pasti mendengarnya, tak usah kuduga lagi. Yang kutahu semakin jelas. Dengan menyeret kaki pelan, aku berusaha untuk menuju kantor pemimpin sekolah. Lorong yang semula ramai oleh suara teriakan manusia – manusia yang berkelakuan monyet, mendadak senyap (menuruku!). Pikiranku yang mulai melayang pergi segera kutarik kembali, ia tak boleh dibiarkan pergi. Ia memang macam seekor anjing pelacak yang ganas.
Tanpa kusadari aku telah menghadap ke arah pintu menakutkan itu. Aku mencari ketegaran, kubaca semua mantra dan jimat keagamaan. Semua kulalap habis tak tersisa satupun. Gemetar aku dibuatnya, kakiku lesu semakin menjadi – jadi. Panggilan itu terdengar sekali lagi, suaranya memantul dan menggema terkena dinding – dinding lorong.
Saat kumasuki, aku melihat beberapa orang bersama kepala sekolah. Mereka seperti heran melihatku, sorot matanya yang tajam penuh selidik, segera menusuk diriku. Foto presiden dan wakilnya serasa tersenyum penuh kemunafikan, ia seperti orang yang penuh kesinisan. Kertas – kertas yang berada di atas meja sang kepala seolah menyuruhku untuk membantingnya. Apalagi beberapa helai kertas yang berada di genggaman manusia yang berpakaian penegak hukum menuntutku untuk menyobek dan membakarnya.
Aku mencoba menggiring khayalanku ke kepalaku kembali. Ia telah terlepas begitu lama, hingga menimbulkan kekacauan dalam diriku. Aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan beberapa orang itu kepadaku. Mereka dengan semena – mena menggiringku keluar dan memasukkanku dalam sebuah mobil besi.
Hatiku sedikit berteriak kesenangan.
Inilah mobil yang ada dalam tv –tv, tidak semua orang dapat menaikinya”
Mobil ini berukuran lumayan besar dan cukup untuk sepuluh orang dewasa. Mobil ini tak punya jendela. Pintunya cukup besar untuk orang seukuranku, semuanya terbuat dari besi atau mungkin baja anti karat. Pintunya dikunci dan digembok, yang menurutku tak mungkin dibuka kecuali oleh manusia super. Dalam mobil terdapat teralis – teralis besi seukuran ibu jari.
Baunya pun lumayan busuk. Besinya berbau karat, dan terlihat berwarna coklat dengan sedikit keropos di sana – sini. Bau lainnya juga sangat menyengat, Pengap, keringat dan kentut bercampur baur jadi satu denganku, maklum tidak ada jendela kecil sedikitpun untuk aliran udara.
Tak berapa lama mobil ini terasa berhenti. Dua orang mencoba membuka pintu jelek itu. Terlihat dua orang kekar menjemputku di luar mobil. Mereka mengeluarkanku dengan kasar. Tangannya yangbesar mencekik pergelangan tanganku.
Mereka seolah menyeretku ke sebuah tempat yang tak kuketahui. Aku melihat sebuah bangku dan dua buah kursi. Mereka tertata rapi dan saling berhadapan. Penerangan yang remang – remang benar – benar membuatku takut. Tak ada jendela sama sekali, hanya ada sebiah pintu besi. Entah berapa ton berat pintu, kulihat orang – orang kuat tadi sampai mengeluarkan keringat bau mereka saat membuka pintu besi itu.
Tak berapa lama dua orang berotot itu pergi. Aku di dalam sendiriang. Tak ada yang menemani kecuali tikus – tikus menyuarakan puisi kesedihan untukku. Aku mengitari ruangan itu sambil menyenandungkan lagu – lagu rohani, untuk mengusir rasa takutku. Tembok yang tak putih lagi dan berair memberi kesan tak terurus pada ruangan ini. Sungguh tak tahan rasanya jika terkurung di sini.
Panas dan bau menyelimuti ruangan ini. Kutengadahkan kepalaku untuk memeriksa bagian atas ruangan. Di atas pun tak terlihat adanya jaring – jaring laba – laba. Mungkin para hewan itu tak tahan dengan temat seprti ini. Bagian atas ruangan ini terlihat jelas jamur – jamur daun menempel. Mereka membentuk suatu lingkaran atau apa saja. Mereka terlihat bergerombol dan sedang membicarakan sesuatu.
Mereka merupakan saksi bisu atas seua yang terjadi. Mereka pasti sedang melirikku sinis dan memperbincangkanku. Mata mereka yang kecil dapat dengan mudah kutemukan. Bola matanya yang hitam memantulkan gambaran diriku. Beberapa jamur terlihat berwarna coklat, secoklat warna bangku di tengah ruangan.
Diriku mengalihkan pandanganku menuju pintu basi tua. Sudah sejam kiranya aku berada di sini. Aku tak mendengar seseorang berjalan atau apapun kecuali diriku sendiri. Aku mulai merasakan gerah yang membuat keringat ku menetes. Seperti seekor cacing yang sedang berendam pada air yang mampu membuat kulit terkelupas. Diriku mengibas – ngibaskan telapak tanganku yang kecil. Kuraih kancing bajuku satu perstu. Kulepas baju yang menempel pada tubuhku.
Kulihat kucuran keringat menetes di dada dan perutku. Tak berselng semenit kegerahan juga menyerang kaki dan pahaku. Bagian yang semula kututupi dan kujaga terpaksa kuumbar dan kubuka. Aku melepas juga celana biru khas SMP. Hanya sebuah pakaian yang masih melekat rapi. Kulihat ia juga telah basah oleh keringat.
Aku memutar kepalaku dan mencari kamera pengintai yang mungkin mengintai. Tak kujumpai satupun kamera pengintai yang terlihat. Semua sama seperti tadi, sepi tak ada pengintai. Hanya diriku seorang diri yang terjebak di tempat seperti ini. Sbuah neraka dunia.
Aku mulai melepaskan pakaian terkahir yang melekat di tubuhku. Tak ada satu kainpun yang melekat di tubuhku. Aku memerhatiakn skujur tubuhku telah terkena basuhan air keringat yang berasa asin. Entah di mana dan dari mana suara itu datang. Tanganku seolah tak punya daya untuk melawannya. Aku mulai mempermainkan kemaluanku sendiri.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar